Apa yang dirasa ketika (akan) turun hujan?
Bahagia kah karena hujan
dapat membawa segala kenangan yang tersirat. Atau justru sedih kah
karena hujanlah yang menghalangi ketika akan berjumpa dengan kakasih
hati.
Tidak.
Aku menyukai hujan, namun
aku juga membencinya.
Ketika menunggu hal yang
mustahil untuk didapatkan. Bukan. Aku tak yakin kata-kata tersebut
memanglah benar. Yang aku tahu, semua menjadi mungkin jika ada usaha
didalamnya.
Menunggu. Lagi. Satu
setengah tahun yang melelahkan. Berteman senyum dibalik kegelapan air
mata. Lol. Lucu sekali ketika aku hanya dapat memandangnya dari jarak
dekat, namun tak ada satupun bisikan jiwa hadir didalam hatinya. Tak
ada, bahkan benih yang kutanam saat ini mungkin sudah habis dilahap
oleh kuman-kuman didalam tanah.
Ah, sekarang aku sudah
duduk di kelas dua. Masa putih abu-abuku benar-benar suram, sudah
sepatutnya diberi nama “masa putih abu-abu”. Mengertilah apa
yang kaum remaja bicarakan tentang hal ini. Relationship yang membuat
otak menjadi seperti abu, maksudku, bercampur antara penentuan karir
hidup juga dengan percintaan.
Cinta? Hahah. Faktanya,
aku baru satu kali jatuh cinta pada seseorang, yang membuatku tak
dapat berkutik. Bisa-bisanya aku bertahan demi manusia tersebut.
Dengan menahan segala lara, butir air mata yang kuharap tak akan
keluar selamanya untuk dia. Bisa-bisanya aku jatuh cinta, dan
bisa-bisanya aku tetap disini, menunggu dia tahu, walau sebenarnya
dia sudah mengetahuinya.
Hufth. Lelah rasanya jika
berbicara mengenai percintaan. Seakan tak pernah tergores oleh waktu.
Tak akan hilang selama manusia masih menjajaki alam raya ini. Satu
per satu cerita tercipta. Akan dikenang jika ada yang membuatnya
spesial, namun akan terlupa jika jejaknya hilang seperti nada.
Salah, semua kisah
memiliki hal spesialnya, ya, semua yang tertulis di dalam buku
keajaiban cinta.
Kembali lagi pada Sang
Hujan yang menggerakan tangan ini untuk menulis kisahnya. Bukan, aku
tahu ini kertas elektronik, maka tak selayaknya aku katakan
'menulis'. Sudahlah, masalah seperti itu jangan diperdebatkan,
takutnya sang Hujan yang tadinya segan menjadi enggan membasuh
telapak bumi yang indah ini.
Kalian tahu? Keindahannya
tak akan pernah aku lupa. Setiap kali derajat sudut yang
dilukiskannya, memancarkan gelombang tersendiri. Haha. Bagaikan
dispersi, dia yang hanya satu, dan memberikan banyak warna disetiap
nafas yang aku hembuskan.
Sepertinya aku terpikat.
Oh, bukan lagi. Aku sudah terikat.
Dinginnya malam menambah
sahdu karna ketidakhadirannya. Punggung pintu selalu menanti
ketukannya. Demi apa, aku benar-benar menunggunya.
Jangan beritakan hal ini
pada sang merpati, aku takut cintaku mulai diketahuinya. Jangan juga
dibawa oleh aliran air, yang berujung pada samudera nan luas. Jangan,
pokoknya jangan, aku akan tetap disini dan tidak ada satupun hal yang
harus mencampuri sinar yang aku jalani.
Jika, aku adalah nol
baginya, aku ingin sekali menjadi tak terhingga. Jika, melupakannya
adalah jalan terbaik, aku ingin sekali menjadi tanah yang selalu
dipijaknya. Namun jika, dia datang untuk selamanya, ketahuilah, Tuhan
selalu mengetahui apa yang aku fikirkan.
Hujan,
Dingin namun banyak kenangan hangat di dalamnya. Kuharap semua itu bukanlah kebahagiaan sementara. Jika apabila hujan itu berakhir dengan pelangi, para bidadari tengah menjunjung tinggi kesucian hati.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar