Sudah sejak lama aku memimpikannya. Berkhayal dan terus berharap agar dapat memilikinya. Banyak cara yang telah aku lakukan, entah yang ia atau tidak ia perintahkan. Ribuan senyum sudah aku lukiskan. Jutaan tawa sudah aku pancarkan. Demi sebuah hati yang suci.
Bayangan itu datang dan pergi. Bukan, dia bukan hanya sekedar bayangan. Kehadirannya memanglah nyata, namun segala kejadian yang berlalu hanya seperti angan-angan yang tiada henti. Berhembus dan terus berhembus, berlayar hingga akhirnya menghilang ditengah ombak.
Katanya, wanita memang ratu dari segala kebohongan. Tentang akting, tentang pemasangan peran, tentang persembunyian sifat, bahkan jeritan hati yang kaum lelaki tak akan pernah mengerti. Citra seperti itu sudah tergelar sejak berabad-abad lamanya. Wanita dengan segala warna dalam kehidupannya, bersandar dalam segala lara ditiap langkahnya.
Aku titipkan salam, kepada pangeran yang menghilang. Sebuah kerajaan hati yang mati, dihunus pedang runcing bersuhu dingin. Uh, pergilah. Menghilanglah. Dengan untaian air mata, mengemis, aku meminta, bawa pula semua rasa sakit yang kau berikan. Ambil, kemudian buanglah ke tempat dimana aku tak dapat menemukannya.
Dirimu adalah kebahagiaan. Kebahagian laksana dalam nirwana, selamanya. Mati. Nirwana hanya ada setelah melewati fase kematian. Dan aku akan mati. Dirimu adalah jahanam. Tombak kepedihan, menghantarkan rasa sakit. Dua-duanya berkunci pada kematian. Ya. Aku akan mati.
Bermainlah wahai pangeranku. Mainkan sesuka hatimu, bawa ke tempat tertinggi, langit yang kau tahu. Bersenandunglah wahai pangeranku, di sinar peraduan, sebuah kehangatan tiada tara. Kemudian menghilanglah wahai pangeranku.
Aku berdoa, semoga kau segera mendapatkan karma atas kebahagiaanmu.
Kota Tangerang, 12 January 2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar