cursor

Rabu, 26 Maret 2014

Kisah Malam

Taburan bintang bagaikan magnet, mengingatkan akan janji yang dibuat beberapa waktu yang lalu. Jam dinding tersenyum, entah apa yang sedang terjadi aku terhanyut kedalamnya. Walaupun udara dingin menusuk bagai rasa sepi, namun janji tetaplah janji yang anti sekali untuk diingkari.

Tok... tok... tok...

“ Syifaaa... “

Tanpa alasan, laptop yang tadinya bersinar dengan damai langsung aku matikan. Turun dari ranjang yang kebetulan berada di atas dan segera membukakan pintu. Sudah kuduga, ia menagih janji.

“ Jadi enggak? “

Terlihat gadis yang masih mengenakan mukenanya, berdiri di depan pintu dengan segala harap. Dengan anggukan kepala dan sedikit lengkungan di bibir, aku yakin sudah cukup menjawab pertanyaannya.

Di sepertiga malam pertama ini, dua gadis berjalan bergandengan. Celingak-celinguk mencari lokasi yang memang belum pernah dikunjungi. Hingga akhirnya, tulisan 'Graha 16' menjadi alat penghentian langkah.

“ Rinta, bener enggak ini tempatnya? “

“ Lha mana aku tahu Syif, kita kan emang baru pertama kesini “

'Yang tak berkepentingan dilarang masuk', begitulah tulisan yang terpasang di depan pintu. Sial. Aku dan Rinta mencoba mengetuk pintu, tak ada yang menyahut. Bagus. Rinta menjauh dari pintu, aku mengikuti langkahnya. Duduk diatas pagar yang membatasi dinding, menghirup udara segar di malam hari.

“ Kalau aku telpon? Bagaimana? “

Rinta hanya menaikan kedua bahunya, dan aku masih mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Hingga akhirnya, aku melakukannya.

Bayang-bayang terlihat dari balik pintu, perlahan pintu terbuka. Pria itu keluar dengan tampilan seperti biasanya yang sontak membuat aku dan Rinta terdiam sejenak.

“ Sudah lama menunggu? “
Siul angin menyudutkanku, kami hanya tersenyum. Tak lama, aku dan Rinta langsung memasuki ruangan tersebut dengan menaiki beberapa anak tangga terlebih dahulu.


Aku tak pernah menunjukkan sikap yang sama ketika berkunjung ke tempat seseorang. Kali ini, sesuatu mengusik kedamaian pendengaranku, bernyanyi sendu namun sepertinya tidak di tempat yang seharunya. Suasana masih hening, aku dan Rinta hanya terduduk kaku.

“ Perasaan enggak enak banget. Seperti masuk kedalam kandang macan. “, batinku.

Pria itu datang kembali, dengan benda kesayangannya. Pandangan mataku menjelajah, merasakan hawa dingin yang menjalar di tubuhku. Dipojok sana, tak nampak apapun namun aku dapat merasakan ada getaran dan hawa yang berbeda. Aku terdiam.

Waktu berlalu. Kita bertiga kini menjurus pada satu benda, laptop. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh pria itu. Namun tak seperti biasanya, bibirku menjadi kaku. Sial. Aku skakmat.

“ Maaf pak, sudah tengah malam. “

Aku masih dari keturunan jawa, kata-kata tersebut sudah lazim digunakan yang biasa disebut dengan 'High Contact'. Masih, kudengar lagi alunan yang membuatku ingin sekali bunuh diri. Ada apa ditempat ini? Sepertinya penghuni tempat ini tak menginginkan kehadiranku.

Oh, iya. Sebentar lagi. “

Menunggu, lagi. Bukan aku namanya jika tak dapat mengemas tingkah laku dengan sempurna. Hingga akhirnya, ia memerintahkan aku dan Rinta untuk bertukar tempat duduk. Disuruhnya Rinta menyatukan garis kedua tangannya, akupun memperhatikannya. Wajar. Normal seperti garis tangan teman-temanku yang lainnya. Tetapi, pria itu mulai membaca garis tangan tersebut.

Aku masih memperhatikannya. Diam-diam aku menyatukan kedua garis tanganku. Terputus. Apa ini?. Baru kali ini aku menemukan seorang pria yang membuatku penasaran mabuk kepayang. Bukan karena apa, namun karena aku heran dengan garis tanganku sendiri yang benar-benar berbanding terbalik dengan garis tangan Rinta.

Terputus.Terbalik. Tipis. Absurd ! “, batinku melihat garis tanganku sendiri.

Jam terus berputar. Dinding terus menertawaiku yang diam membisu. Hingga pada akhirnya, pria itu memerintahkanku untuk sebentar saja keluar dari ruangan karena ingin membicarakan perihal yang penting dengan Rinta. Hah?. Aku berlalu.

Demi keheningan malam. Beradu dengan kerlip bintang. Nampaknya memang benar, kesunyian adalah kerajaan. Melukiskan sejuta tawa, berharap kebahagiaan. Namun apa daya, api terus menyambar. Lara tak dapat disangkal. Menjerit, berharap sesi kali ini tak pernah terjadi.

Aku masih bermain dengan dinding tangga, berbicara entah pada siapa. Dibalik pintu, aku samar-samar melihat sekumpulan lelaki yang mungkin saja aku kenal. Perlahan aku membuka pintunya dan mendapati Rama, Djulio dan Roy berdiri melihat aku yang terpaku disudut pintu.


Sendirian? Rinta mana? “

Diujung ruangan, diatas nirwana. Dengan malaikatnya. “

Masih terhanyut dalam kebingungan. Aku berlari tanpa menggunakan alas kaki. Tersenyum berbinar menatap sang dewi malam. Masih ditemani oleh ketiga lelaki tersebut, aku tertawa. Hingga aku melihat dua sosok yang kukenal keluar dari pintu. Aku kembali.


****

Kamar terkunci. Kulihat teman sekamarku sudah tidur nyenyak. Sunyi, hanya keheningan yang menyelimuti. Kujatuhkan tubuhku, diatas ranjang yang biasa saja. Ranjang asrama yang dilapisi oleh sprai biru tua, tak ada motif, apalagi hiasan disekelilingnya.

Demi Tuhan. Dewi malam saksinya. Berlian berharga itu, kini mulai terlihat, menjatuhkan diri dari kelopak yang tak berdosa. Sembab, hanya dapat mengadu pada yang diatas. Semerawut rasanya, ketika mengingat kejadian tadi. Mengapa aku harus ada? Mengapa aku harus menjadi saksi bisu dengan perantaraan rasa sakit?

Syifa, kamu kenapa nangis? Hey! “

Ah. Sial. Untuk kali ini aku ketahuan menangis. Aku kira teman sekamarku sudah tertidur nyenyak, ternyata belum.

Demi apapun, aku enggak mau lagi punya pengalaman seperti tadi. Persis seperti tadi. Yang ada hanya makan hati. “

Aku masih sesenggukan*. Teman sekamarku hanya diam, dengan wajah seakan mengkasihaniku.

Malam itu, bukan untuk yang pertama kali aku rasakan. Ketika dunia sekan tak lagi berputar. Andaikan aku dapat memutar waktu, aku tak ingin melalui sesi ketidakpantasan kehadiranku diantara mereka. Dia dan malaikatnya. Sedangkan aku? Hanya menjadi butiran debu yang entah terlihat atau tidak. Namun yang pasti, aku masih memiliki hati. Yang tentu saja perlu dijaga layaknya manusia di luar sana.


****


*) Sesenggukan :  menangis, tersedu-sedu; tersedan-sedan





Kota Serang, 27 Maret 2014.
Assyifa Ekananda Firdaus  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar