Taburan bintang bagaikan
magnet, mengingatkan akan janji yang dibuat beberapa waktu yang lalu.
Jam dinding tersenyum, entah apa yang sedang terjadi aku terhanyut
kedalamnya. Walaupun udara dingin menusuk bagai rasa sepi, namun
janji tetaplah janji yang anti sekali untuk diingkari.
Tok... tok... tok...
“ Syifaaa... “
Tanpa alasan, laptop
yang tadinya bersinar dengan damai langsung aku matikan. Turun dari
ranjang yang kebetulan berada di atas dan segera membukakan pintu.
Sudah kuduga, ia menagih janji.
“ Jadi enggak? “
Terlihat gadis yang
masih mengenakan mukenanya, berdiri di depan pintu dengan segala
harap. Dengan anggukan kepala dan sedikit lengkungan di bibir, aku
yakin sudah cukup menjawab pertanyaannya.
Di sepertiga malam
pertama ini, dua gadis berjalan bergandengan. Celingak-celinguk
mencari lokasi yang memang belum pernah dikunjungi. Hingga akhirnya,
tulisan 'Graha 16' menjadi alat penghentian langkah.
“ Rinta, bener enggak
ini tempatnya? “
“ Lha mana aku tahu
Syif, kita kan emang baru pertama kesini “
'Yang tak berkepentingan
dilarang masuk', begitulah tulisan yang terpasang di depan pintu.
Sial. Aku dan Rinta mencoba mengetuk pintu, tak ada yang menyahut.
Bagus. Rinta menjauh dari pintu, aku mengikuti langkahnya. Duduk
diatas pagar yang membatasi dinding, menghirup udara segar di malam
hari.
“ Kalau aku telpon?
Bagaimana? “
Rinta hanya menaikan
kedua bahunya, dan aku masih mempertimbangkan apa yang harus
dilakukan. Hingga akhirnya, aku melakukannya.
Bayang-bayang terlihat
dari balik pintu, perlahan pintu terbuka. Pria itu keluar dengan
tampilan seperti biasanya yang sontak membuat aku dan Rinta terdiam
sejenak.
“ Sudah lama menunggu?
“
Siul angin
menyudutkanku, kami hanya tersenyum. Tak lama, aku dan Rinta langsung
memasuki ruangan tersebut dengan menaiki beberapa anak tangga
terlebih dahulu.
Aku tak pernah
menunjukkan sikap yang sama ketika berkunjung ke tempat seseorang.
Kali ini, sesuatu mengusik kedamaian pendengaranku, bernyanyi sendu
namun sepertinya tidak di tempat yang seharunya. Suasana masih
hening, aku dan Rinta hanya terduduk kaku.
“ Perasaan enggak enak
banget. Seperti masuk kedalam kandang macan. “, batinku.
Pria itu datang kembali,
dengan benda kesayangannya. Pandangan mataku menjelajah, merasakan
hawa dingin yang menjalar di tubuhku. Dipojok sana, tak nampak apapun
namun aku dapat merasakan ada getaran dan hawa yang berbeda. Aku
terdiam.
Waktu berlalu. Kita
bertiga kini menjurus pada satu benda, laptop. Pertanyaan demi
pertanyaan dilontarkan oleh pria itu. Namun tak seperti biasanya,
bibirku menjadi kaku. Sial. Aku skakmat.
“ Maaf pak, sudah
tengah malam. “
Aku masih dari keturunan
jawa, kata-kata tersebut sudah lazim digunakan yang biasa disebut
dengan 'High Contact'. Masih,
kudengar lagi alunan yang membuatku ingin sekali bunuh diri. Ada apa
ditempat ini? Sepertinya penghuni tempat ini tak menginginkan
kehadiranku.
“ Oh,
iya. Sebentar lagi. “
Menunggu,
lagi. Bukan aku namanya jika tak dapat mengemas tingkah laku dengan
sempurna. Hingga akhirnya, ia memerintahkan aku dan Rinta untuk
bertukar tempat duduk. Disuruhnya Rinta
menyatukan garis kedua tangannya, akupun memperhatikannya. Wajar.
Normal seperti garis tangan teman-temanku yang lainnya. Tetapi, pria
itu mulai membaca garis tangan tersebut.
Aku
masih memperhatikannya. Diam-diam aku menyatukan kedua garis
tanganku. Terputus. Apa ini?. Baru kali ini aku menemukan seorang
pria yang membuatku penasaran mabuk kepayang. Bukan karena apa, namun
karena aku heran dengan garis tanganku sendiri yang benar-benar
berbanding terbalik dengan garis tangan Rinta.
“ Terputus.Terbalik.
Tipis. Absurd ! “, batinku melihat garis tanganku sendiri.
Jam
terus berputar. Dinding terus menertawaiku yang diam membisu. Hingga
pada akhirnya, pria itu memerintahkanku untuk sebentar saja keluar
dari ruangan karena ingin membicarakan perihal yang penting dengan
Rinta. Hah?.
Aku berlalu.
Demi
keheningan malam. Beradu dengan kerlip bintang. Nampaknya memang
benar, kesunyian adalah kerajaan. Melukiskan sejuta tawa, berharap
kebahagiaan. Namun apa daya, api terus menyambar. Lara tak dapat
disangkal. Menjerit, berharap sesi kali ini tak pernah terjadi.
Aku
masih bermain dengan dinding tangga, berbicara entah pada siapa.
Dibalik pintu, aku samar-samar melihat
sekumpulan lelaki yang mungkin saja aku kenal. Perlahan aku membuka
pintunya dan mendapati Rama, Djulio dan Roy berdiri melihat aku yang
terpaku disudut pintu.
“ Sendirian? Rinta mana? “
“ Diujung
ruangan, diatas nirwana. Dengan malaikatnya. “
Masih
terhanyut dalam kebingungan. Aku berlari tanpa menggunakan alas kaki.
Tersenyum berbinar menatap sang dewi malam. Masih ditemani oleh
ketiga lelaki tersebut, aku tertawa. Hingga aku melihat dua sosok
yang kukenal keluar dari pintu. Aku kembali.
****
Kamar
terkunci. Kulihat teman sekamarku sudah tidur nyenyak. Sunyi, hanya
keheningan yang menyelimuti.
Kujatuhkan tubuhku, diatas ranjang yang biasa saja. Ranjang asrama
yang dilapisi oleh sprai biru
tua, tak ada motif, apalagi hiasan disekelilingnya.
Demi
Tuhan. Dewi malam saksinya. Berlian berharga itu, kini mulai
terlihat, menjatuhkan diri dari kelopak yang tak berdosa. Sembab,
hanya dapat mengadu pada yang diatas. Semerawut rasanya, ketika
mengingat kejadian tadi. Mengapa aku harus ada? Mengapa aku harus
menjadi saksi bisu dengan perantaraan rasa sakit?
“ Syifa,
kamu kenapa nangis? Hey! “
Ah.
Sial. Untuk kali ini aku ketahuan menangis. Aku
kira teman sekamarku sudah tertidur nyenyak, ternyata belum.
“ Demi
apapun, aku enggak mau lagi punya pengalaman seperti tadi. Persis
seperti tadi. Yang ada hanya makan hati. “
Aku
masih sesenggukan*. Teman sekamarku hanya diam, dengan wajah seakan
mengkasihaniku.
Malam
itu, bukan untuk yang pertama kali aku rasakan. Ketika dunia sekan
tak lagi berputar. Andaikan aku dapat memutar waktu, aku tak ingin
melalui sesi ketidakpantasan kehadiranku diantara mereka. Dia dan
malaikatnya. Sedangkan aku? Hanya menjadi butiran debu yang entah
terlihat atau tidak. Namun yang pasti, aku masih memiliki hati. Yang
tentu saja perlu dijaga layaknya manusia di luar sana.
****
*)
Sesenggukan : menangis,
tersedu-sedu;
tersedan-sedan
Kota
Serang, 27 Maret 2014.
Assyifa Ekananda Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar