Seringkali
aku berpikir, apakah yang kulakukan ini benar adanya. Bagaimana awalnya dia
datang, masuk meresap bagai air mengalir dalam rongga pembuluh darah, hingga
akhirnya berpisah seakan tak pernah saling mengenal satu sama lain.
Dia
yang kukenal sangat kusukai perangainya. Mulai dari cara bicaranya, tingkah
lakunya, bahkan hal-hal yang menurut orang lain menyebalkan pun justru aku
menyukainya. Tak peduli apa yang dikatakan mereka di luar sana, yang pasti aku
bahagia walau hanya berada dalam beberapa meter disekitarnya.
Tinggal
satu atap selama tiga tahun lamanya membuat aku percaya bahwa cinta itu ada.
Datang dengan tanpa undangan tersurat, namun membuat hari-hariku yang sudah
penuh dengan kalimat eksak dibumbui dengan warna cinta yang entahlah, aku saja
tak dapat mendeskripsikannya hingga detik ini.
Banyak
aku mendengar perkataan, ‘cintailah dia yang bahkan wajah bangun tidurnya pun
kamu sukai’. Walau tak mendengar kalimat-kalimat seperti itu pun aku sudah
mencintainya, dengan apa adanya dia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Pria
yang lebih muda sembilan bulan dariku itu sungguh membuatku tersiksa dengan
segala kehangatan dan kenangan yang ia berikan. Hal-hal kecil seperti menoton
film di laptop, masak makanan yang rasanya astagfirullah
tidak karuan, berangkat bersama, pergi menghabiskan uang bulanan, bahkan pernah
sampai bermain di bawah selimut bersama-sama seperti anak kecil yang sedang
kemah-kemahan. Ah, aku merindukannya.
Kurasa
awalnya hanya aku yang punya ‘perasaan yang lebih’ terhadapnya, karena hingga
saat ini pun kurva rasa cintanya belum lagi bisa ku terka, tidak seperti
matematika yang memberikan kepastian walau harus dengan kesulitan. Dia tidak
seperti itu, fikirannya rumit, jalan hidupnya jauh dengan apa yang aku alami
saat ini. Atau mungkin justru aku yang telah berubah terlebih dahulu?
Seperti
Rangga dan Cinta. Kehidupan masa sekolah memang menyenangkan. Menghadirkan kisah-kisah
cinta tak terlupakan, apalagi cinta pertama yang membuat hati bergeming kala mengingatnya. Namun
seperti itulah, Rangga yang hidup dengan apa adanya, dan dibesarkan hanya
dengan salah satu dari orang tuanya berbanding terbalik dengan kehidupan Cinta
yang penuh dengan kasih sayang dari keluarganya yang lengkap.
Aku
tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mengungkapkan bahwa aku rindu, bahwa aku
menginginkannya, bahwa aku memiliki perasaan layaknya Cinta terhadap Rangga
yang terpendam dalam sebuah kotak dan tak berani untuk membukannya kembali,
kecuali untuk mengingat Rangga dan segala kenangannya. Aku tidak tahu lagi hal
apa yang harus aku lakukan untuk dapat terus meyakinkannya. Hingga akhirnya dia
pergi. Oh bukan, maksudku, aku dan dia memang harus berbisah dengan sejuta
alasan.
Cinta
yang kumiliki terhadapnya sama seperti Cinta yang dimiliki oleh Cinta terhadap
Rangga, atau bahkan bisa saja lebih dari itu. Karena yang aku tahu, cinta bukan
hanya sekedar perasaan yang hanya ada di awal saja, bukan sekedar keinginan dan
hawa nafsu untuk dilakukan bersama, bukan juga sekedar status untuk dipamerkan
pada khalayak ramai. Lebih dari itu, cinta merangkup segalanya. Sayang, dia tak
menangkap apa yang selama ini telah aku jelaskan.
Dia,
dia dan dia. Ah, senyumannya, kehangatannya, bahkan sentuhan tangannya pun
masih dapat kuingat dengan sangat jelas sampai saat ini. Aku merindukannya,
sungguh, demi apapun aku merindukannya. Bagai pungguk merindukan rembulan, yang
rindunya takkan pernah sampai.
Hanya
kalimat rindu yang bahkan ku tahu ia sudah sangat bosan membacanya. Namun lagi,
aku merindukannya. Rasa rindu yang membuatku sesak, membuatku hampir mati jika
harus setiap hari mengingatnya. Tak pernah aku merasakan rindu sesakit dan
seperih ini, seakan ditikam oleh benda tajam, seperti dililit oleh alunan
tambang, seperti dijatuhkan dari ketinggian. Aku ingin berteriak, namun apalah
daya, dia tak akan pernah mendengarnya.
Aku
mencintainya.
Sungguh.
Pernah
aku berkata aku membencinya. Itu pun benar. Karena ia hanya menginginkan apa
yang menjadi kehendaknya saja. Dia tak melihat dari sisi mana aku mencintainya,
dari bagaimana aku berjuang untuk mendapatkannya, dan menjaganya walau teramat
sakit. Apakah aku berdusta? Oh, kurasa iya. Aku berkata bahwa aku akan
benar-benar pergi, aku ungkapkan bahwa ia akan kehilanganku. Namun lagi, justru
aku yang merasakannya. Aku menyesal telah mencintainya, namun aku lebih menyesal karena harus berpisah dengannya.
Aku
mencintainya.
Sungguh.
Jika
ada satu kesempatan untuk aku katakan, aku ingin berkata ‘Jangan pergi lagi,
tolong jangan, aku bisa mati karena rindu jika harus melakukan untuk kedua
kalinya’. Tolong, aku mohon dengan sangat, lihat aku dari semua segi pandang
yang kamu miliki, tatap aku dan jadikan dirimu bersyukur karena telah bertemu
denganku. Tapi jika memang demikian, egois namanya karena harus selalu mementingkan
keinginanku saja.
Aku
mencintainya.
Sungguh.
Bahkan
tak lagi aku berpikir saat menghabiskan waktu dengannya, tak sempat lagi aku untuk
memberikan sebuah jawaban ‘tidak’. Apapun keinginannya, yang sekiranya masih
dapat kulakukan pasti ku berikan, Pun sebaliknya, aku tahu dan paham benar
bagaimana ia berusaha untuk selalu memberikan apa yang aku inginkan, hingga
akhirnya aku dan dia berpisah.
Aku
mencintainya.
Sungguh.
Namun
rasa yang aku miliki tak sepenuhnya sampai padanya. Tak semestinya aku merindu
seperti ini. Tak seharusnya aku terlarut dalam kesedihan dan kerinduan. Juga,
tak seharusnya aku memberikan pengertian dengan terus-menerus, karena mau
bagaimana pun juga, ia tak akan pernah mengerti bahwa dia adalah manusia
pertama yang aku rindukan selain keluargaku dengan sedemikian sangat aku
merindukannya.
Apalagi?
Bagaimana lagi aku utarakan? Yang aku lihat bukan hanya dari satu sudut pandang
saja, sayang. Aku melihatmu dari seluruh dirimu, tapi apakah kamu pun demikian?
Kurasa tidak.
Hatiku
hancur. Benar-benar remuk saat dia mengatakan hal yang tak pernah kubayangkan
sebelumnya. Ku kira cinta itu tulus, ternyata ada alasan lain yang dia miliki
dalam setiap goresan kenangan yang telah tercipta.
Aku
marah, aku kesal, namun lagi, aku mencintainya.
Sungguh.
Jadi,
tolong aku, katakan apa yang harus aku lakukan sekarang?
Air
mataku tak cukup lagi untuk setiap malam menangisi dirimu. Orang tuaku pun
sudah tak lagi dengan sangat menanggapi cerita-cerita kesedihanku tentang
dirimu. Kamu yang saat ini jauh, bukan hanya jarak namun juga hatimu perlahan
mulai jauh. Tapi bayanganmu masih saja hadir di setiap mimpi dalam tidurku. Ah,
ingin kuucapkan lagi, aku merindukanmu.
Seperti
Rangga dan Cinta. Hingga saat ini aku masih yakin bahwa kisah seperti itu bukan
mustahil adanya. Karena aku yakin, kamu, iya kamu. Aku mencintaimu, sungguh.
Kota Serang, 1 Juli 2017




