cursor

Jumat, 30 Juni 2017

Rangga dan Cinta


Seringkali aku berpikir, apakah yang kulakukan ini benar adanya. Bagaimana awalnya dia datang, masuk meresap bagai air mengalir dalam rongga pembuluh darah, hingga akhirnya berpisah seakan tak pernah saling mengenal satu sama lain.

Dia yang kukenal sangat kusukai perangainya. Mulai dari cara bicaranya, tingkah lakunya, bahkan hal-hal yang menurut orang lain menyebalkan pun justru aku menyukainya. Tak peduli apa yang dikatakan mereka di luar sana, yang pasti aku bahagia walau hanya berada dalam beberapa meter disekitarnya.

Tinggal satu atap selama tiga tahun lamanya membuat aku percaya bahwa cinta itu ada. Datang dengan tanpa undangan tersurat, namun membuat hari-hariku yang sudah penuh dengan kalimat eksak dibumbui dengan warna cinta yang entahlah, aku saja tak dapat mendeskripsikannya hingga detik ini.

Banyak aku mendengar perkataan, ‘cintailah dia yang bahkan wajah bangun tidurnya pun kamu sukai’. Walau tak mendengar kalimat-kalimat seperti itu pun aku sudah mencintainya, dengan apa adanya dia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Pria yang lebih muda sembilan bulan dariku itu sungguh membuatku tersiksa dengan segala kehangatan dan kenangan yang ia berikan. Hal-hal kecil seperti menoton film di laptop, masak makanan yang rasanya astagfirullah tidak karuan, berangkat bersama, pergi menghabiskan uang bulanan, bahkan pernah sampai bermain di bawah selimut bersama-sama seperti anak kecil yang sedang kemah-kemahan. Ah, aku merindukannya.

Kurasa awalnya hanya aku yang punya ‘perasaan yang lebih’ terhadapnya, karena hingga saat ini pun kurva rasa cintanya belum lagi bisa ku terka, tidak seperti matematika yang memberikan kepastian walau harus dengan kesulitan. Dia tidak seperti itu, fikirannya rumit, jalan hidupnya jauh dengan apa yang aku alami saat ini. Atau mungkin justru aku yang telah berubah terlebih dahulu?

Seperti Rangga dan Cinta. Kehidupan masa sekolah memang menyenangkan. Menghadirkan kisah-kisah cinta tak terlupakan, apalagi cinta pertama yang  membuat hati bergeming kala mengingatnya. Namun seperti itulah, Rangga yang hidup dengan apa adanya, dan dibesarkan hanya dengan salah satu dari orang tuanya berbanding terbalik dengan kehidupan Cinta yang penuh dengan kasih sayang dari keluarganya yang lengkap.

Aku tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mengungkapkan bahwa aku rindu, bahwa aku menginginkannya, bahwa aku memiliki perasaan layaknya Cinta terhadap Rangga yang terpendam dalam sebuah kotak dan tak berani untuk membukannya kembali, kecuali untuk mengingat Rangga dan segala kenangannya. Aku tidak tahu lagi hal apa yang harus aku lakukan untuk dapat terus meyakinkannya. Hingga akhirnya dia pergi. Oh bukan, maksudku, aku dan dia memang harus berbisah dengan sejuta alasan.

Cinta yang kumiliki terhadapnya sama seperti Cinta yang dimiliki oleh Cinta terhadap Rangga, atau bahkan bisa saja lebih dari itu. Karena yang aku tahu, cinta bukan hanya sekedar perasaan yang hanya ada di awal saja, bukan sekedar keinginan dan hawa nafsu untuk dilakukan bersama, bukan juga sekedar status untuk dipamerkan pada khalayak ramai. Lebih dari itu, cinta merangkup segalanya. Sayang, dia tak menangkap apa yang selama ini telah aku jelaskan.

Dia, dia dan dia. Ah, senyumannya, kehangatannya, bahkan sentuhan tangannya pun masih dapat kuingat dengan sangat jelas sampai saat ini. Aku merindukannya, sungguh, demi apapun aku merindukannya. Bagai pungguk merindukan rembulan, yang rindunya takkan pernah sampai.

Hanya kalimat rindu yang bahkan ku tahu ia sudah sangat bosan membacanya. Namun lagi, aku merindukannya. Rasa rindu yang membuatku sesak, membuatku hampir mati jika harus setiap hari mengingatnya. Tak pernah aku merasakan rindu sesakit dan seperih ini, seakan ditikam oleh benda tajam, seperti dililit oleh alunan tambang, seperti dijatuhkan dari ketinggian. Aku ingin berteriak, namun apalah daya, dia tak akan pernah mendengarnya.

Aku mencintainya.

Sungguh.

Pernah aku berkata aku membencinya. Itu pun benar. Karena ia hanya menginginkan apa yang menjadi kehendaknya saja. Dia tak melihat dari sisi mana aku mencintainya, dari bagaimana aku berjuang untuk mendapatkannya, dan menjaganya walau teramat sakit. Apakah aku berdusta? Oh, kurasa iya. Aku berkata bahwa aku akan benar-benar pergi, aku ungkapkan bahwa ia akan kehilanganku. Namun lagi, justru aku yang merasakannya. Aku menyesal telah mencintainya, namun aku lebih  menyesal karena harus berpisah dengannya.

Aku mencintainya.

Sungguh.

Jika ada satu kesempatan untuk aku katakan, aku ingin berkata ‘Jangan pergi lagi, tolong jangan, aku bisa mati karena rindu jika harus melakukan untuk kedua kalinya’. Tolong, aku mohon dengan sangat, lihat aku dari semua segi pandang yang kamu miliki, tatap aku dan jadikan dirimu bersyukur karena telah bertemu denganku. Tapi jika memang demikian, egois namanya karena harus selalu mementingkan keinginanku saja.

Aku mencintainya.

Sungguh.

Bahkan tak lagi aku berpikir saat menghabiskan waktu dengannya, tak sempat lagi aku untuk memberikan sebuah jawaban ‘tidak’. Apapun keinginannya, yang sekiranya masih dapat kulakukan pasti ku berikan, Pun sebaliknya, aku tahu dan paham benar bagaimana ia berusaha untuk selalu memberikan apa yang aku inginkan, hingga akhirnya aku dan dia berpisah.

Aku mencintainya.

Sungguh.

Namun rasa yang aku miliki tak sepenuhnya sampai padanya. Tak semestinya aku merindu seperti ini. Tak seharusnya aku terlarut dalam kesedihan dan kerinduan. Juga, tak seharusnya aku memberikan pengertian dengan terus-menerus, karena mau bagaimana pun juga, ia tak akan pernah mengerti bahwa dia adalah manusia pertama yang aku rindukan selain keluargaku dengan sedemikian sangat aku merindukannya.

Apalagi? Bagaimana lagi aku utarakan? Yang aku lihat bukan hanya dari satu sudut pandang saja, sayang. Aku melihatmu dari seluruh dirimu, tapi apakah kamu pun demikian? Kurasa tidak.

Hatiku hancur. Benar-benar remuk saat dia mengatakan hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ku kira cinta itu tulus, ternyata ada alasan lain yang dia miliki dalam setiap goresan kenangan yang telah tercipta.

Aku marah, aku kesal, namun lagi, aku mencintainya.

Sungguh.

Jadi, tolong aku, katakan apa yang harus aku lakukan sekarang?
Air mataku tak cukup lagi untuk setiap malam menangisi dirimu. Orang tuaku pun sudah tak lagi dengan sangat menanggapi cerita-cerita kesedihanku tentang dirimu. Kamu yang saat ini jauh, bukan hanya jarak namun juga hatimu perlahan mulai jauh. Tapi bayanganmu masih saja hadir di setiap mimpi dalam tidurku. Ah, ingin kuucapkan lagi, aku merindukanmu.

Seperti Rangga dan Cinta. Hingga saat ini aku masih yakin bahwa kisah seperti itu bukan mustahil adanya. Karena aku yakin, kamu, iya kamu. Aku mencintaimu, sungguh.


Kota Serang, 1 Juli 2017



Tidak ada komentar:

Posting Komentar