cursor

Rabu, 30 Maret 2016

Di Balik Jemuran Baju

  Sudah dua tahun lamanya. Jemuran baju yang gagah itu kini mulai rapuh. Beban demi beban digantungkan kepadanya. Tak pernah berkomentar tentang bagaimana ia diperlakukan, ia tetap terima. Bisa apa dia dengan segala tindakan, karena ia hanyalah sebuah benda mati yang tak jarang orang memperhatikan jasa-jasanya.
  Masih teringat tentang bagaimana sang pemilik berusaha untuk mendapatkannya. Ketika itu, sang pemilik dan bundanya pergi ke sebuah toko peralatan rumah tangga. Mereka berlari-lari, mencari kesana dan kemari untuk mendapatkan sebuah benda yang cukup bagus kualitasnya. Hingga pada akhirnya, mereka menemukan barang yang dicari.
  Sang pemilik merogoh lembaran dalam dompetnya. Tatkala saat itu, uang yang ada digenggamannya dan yang ada ditangan ibunya tak mencukupi untuk membeli jemuran baju yang telah dipilihnya. Alhasil, mereka beralih pada sebuah jemuran baju yang lain, yang tentunya memiliki harga lebih murah. Rasa kecewa memang ada, namun secepat kilat perasaan itu menghilang dan berubah menjadi rasa penuh syukur.
  Sang pemilik dan bundanya bergegas untuk pulang, mereka melangkah menaiki sebuah angkutan umum sembari menenteng jemuran baju tersebut.
  Bundanya berkata, “Tak apa ya nak, yang penting kamu masih dapat memilikinya. Bunda hanya tak ingin, jika di asrama mu nanti, kau harus naik turun anak tangga hanya untuk menjemur pakaian-pakaianmu. Bukannya bunda memanjakanmu, namun bunda tahu, kaki patahmu yang baru beberapa bulan ini tersambung belum cukup kuat untuk menaiki anak tangga sembari membawa ember berisi pakaian basah. Bunda hanya ingin kau tahu, bahwa bunda sayang padamu”.
  Ah, miris sekali jika mengingat kejadian tersebut. Sang pemilik hanya dapat tersenyum haru, juga selalu bersyukur karena memiliki seorang bunda yang rela berjuang seperti itu.
  Beberapa hari setelahnya, di dalam sebuah kamar asrama, sang pemilik dan bundanya bekerja sama untuk merakit jemuran baju yang telah mereka beli. Jika boleh dikatakan, cukup sulit untuk merangkainya. Butuh kesabaran dan ketelatenan agar jemuran tersebut tak goyang dan tak jatuh jika diisi oleh beberapa helai pakaian. Sampai pada akhirnya, mereka berdua berhasil, dan meletakkan jemuran baju itu di sebuah sudut kamar dengan penuh kebanggaan.
  Kini, kenangan tersebut telah berlalu. Sang pemilik kedatangan seorang teman kamar baru, yang mengharuskan dirinya untuk berbagi jemuran baju itu. Dengan senang hati sang pemilik membaginya, ia mendapatkan tangkai yang didepan, dan kawannya mendapatkan tangkai yang dibelakang.
  Namun, betapa sakitnya hati sang pemilik. Jemuran baju yang penuh kisah itu, tak dimanfaatkannya dengan baik. Ia melihat teman kamarnya tak mengindahkan apa yang telah diberitahukan oleh sang pemilik. Baju yang digantung tak dirapihkan, bahkan ditumpuk hingga beberapa helai sehingga membuat jemuran yang lemah itu menjadi bobrok, hancur, dan terjatuh. Miris sekali rasanya. Mengenang perjuangan ketika bagaimana mendapatkan jemuran baju itu sembari melihat keadaannya saat ini.
  Sang pemilik berusaha untuk membenahinya. Mengembalikan posisi tangkai ke tempat semula sehingga terlihat manis kembali.
 
“Semoga ada hikmah di balik semua kejadian ini”.


Tangerang, 31 Maret 2016

 Assyifa Ekananda Firdaus
*Image from google pict.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar